Tidak terbiasa menerima masukan dari karyawan dengarkan konsumen bicara

Artikel ini mencoba mengulas sisi buruk dari kebanyakan gaya kepemimpinan pemimpin yang sekaligus juga pemilik perusahaan.  Pemimpin yang mengelola perusahaan dengan cara pandang yang didasari pada anggapan bahwa seorang pemilik perusahaan adalah pihak yang benar-benar berbeda dan dibedakan dalam hal yang terkait tujuan dan kepentingan dengan karyawan.  Seorang pemilik perusahaan yang karena ia yang memiliki perusahaan dan menggaji karyawan merasa diri sebagai penyandang kasta tertinggi, dan karenanya tidak layak menganggab karyawan adalah mitra.  Pemimpin (juga pemilik perusahaan) seperti ini seringkali menjadi pihak yang otoriter dan menganggab karyawan hanya sebagai alat pelaksana.

Adalah hal yang tak bisa disangkal lagi bahwa yang paling diinginkan oleh karyawan adalah gaji besar, kerja enak, punya lingkungan kerja yang nyaman bersama teman kerja yang baik, punya atasan yang gak gampang marah atau walaupun marah tapi marahnya dengan alasan yang bisa diterima.  Tidak juga gampang memberikan ancaman kepada karyawan.  Apa yang karyawan inginkan ada pada pimpinan adalah pemimpin yang enak diajak berbicara, pimpinan yang mau menerima masukan dari bawahan lalu mempelajari masukan tersebut dengan senang hati untuk mencari kemungkinan diterapkan, atau dijadikan pertimbangan dalam membuat keputusan.

Sebaliknya sebagai pimpinan ( Dalam artikel ini kata pemimpin, pimpinan, atasan yang saya maksud adalah juga sebagai pemilik perusahaan).  Maunya pimpinan apapun perintah dan sistem kerja yang ia buat harus dilaksanakan tanpa protes, meskipun bertentangan dengan kemauan karyawan.  Maunya pimpinan setiap karyawan digaji dengan serendah-rendahnya, dan mengharapkan karyawan bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk tujuan profit perusahaan.  Maunya pimpinan karyawan datang kerja tepat waktu dan masuk kerja setiap hari, bekerja dengan sepenuh hati dan mengabaikan semua ganjalan di hati, lalu setiap beraktifitas dalam jam kerja selalu yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan.

Dua macam kemauan yang datang dari dua pihak yang (menurut sudut pandang pemimpin jenis ini) berseberangan dalam segala hal.  Tidak adakah titik temu yang pada pertemuannya bisa memfasilitasi keinginan karyawan dan juga maunya pemilik perusahaan ?.  Barangkali harmonisasi seperti itu masih menjadi cita-cita setiap karyawan.

Karena anggapan seorang owner adalah pihak yang berbeda kepentingan dan benar-benar dibedakan dari karyawan tidak jarang keinginan pemimpin dan karyawan yang sebenarnya sama, dalam hal sama-sama ingin memajukan perusahaan tidak termanfaatkan untuk sebuah proses pembuatan kebijakan.  Untuk sebuah kebijakan seorang pemimpin tak jarang membuat sebuah pilihan tanpa mendapatkan masukan dari karyawan yang sebenarnya memiliki pilihan lain.  Namun karena karyawan memiliki kewajiban melaksanakan perintah pimpinan, meskipun dengan setengah hati tetap dilakukan seperti maunya sang pemimpin.  Dan pekerjaan yang dilakukan setengah hati pastilah tidak berkualitas untuk mendukung tercapainya tujuan bisnis yang diinginkan.  Ujung dari kian banyaknya menumpuk kebijakan pimpinan yang tidak disukai karyawan akan menjadikan hubungan kerja antara karyawan dan pimpinan menjadi tidak harmonis, dan buah dari ketidakharmonisan tersebut adalah kualitas layanan konsumen yang rendah, yang bisa terlihat oleh konsumen dari bahasa tubuh karyawan.

Seorang teman saya bilang itulah tidak enaknya bila pemimpin adalah juga pemilik perusahaan yang biasanya selalu merasa benar sendiri (karyawan pasti salah), selalu merasa pintar sendiri, tidak bersedia menganggab karyawan sebagai bagian dari tim yang sama-sama ikut andil berjuang mencapai tujuan bisnis perusahaan, yang karenanya ia terlalu tinggi hati untuk meminta sumbang pemikiran dari karyawan dalam proses membuat keputusan.

Faktanya, seorang pimpinan yang hanya karena ia adalah seorang pemimpin dan pemilik bisnis tidak selalu adalah seorang individu yang selalu tahu, dan selalu memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam semua hal terkait dengan bisnisnya dari seorang karyawan level terendah sekalipun.  Ini menjadi pembenaran untuk sebuah kewajaran seorang pemilik dalam statusnya sebagai pimpinan perusahaan meminta masukan dari bawahan.

Tapi dalam kasus seorang pemilik perusahaan adalah individu yang merasa berada di kasta tertinggi yang menganggab tidak layak meminta masukan dari karyawan biasa dalam pembuatan keputusan ( meskipun ia terbiasa memberikan instruksi langsung kepada karyawan level terendah sekalipun ), biasanya akan selalu sulit terjadinya harmonisasi hubungan antara karyawan dan pimpinan.  Padahal dalam proses melaksanakan pekerjaan karyawanlah pihak yang paling sering berinteraksi langsung dengan konsumen, dan karena itupula karyawan menjadi pihak yang paling tahu keluhan dari konsumen.  Tanpa mendapatkan masukan dari karyawan, pimpinan mungkin akan tidak maksimal menangkap maunya konsumen.

Untuk sebuah kehati-hatian dalam berinteraksi dengan karyawan untuk alasan "serba", mungkin bisa dibenarkan bila owner "menjaga jarak" dengan karyawan.  Namun akan menjadi sebuah kesalahan bila seorang pemimpin yang juga pemilik perusahaan tidak mencari cara agar selalu mendapatkan masukan dari konsumen.  Masukan bisa berupa ungkapan kepuasan konsumen atau keluhan konsumen untuk sebuah layanan yang mengecewakan.  Dari prosentase jumlah ungkapan puas dan ketidakpuasan konsumen tersebut seorang pemimpin bisa menilai seberapa efektif, efisien ia mengelola perusahaan.  Semakin banyak keluhan konsumen menunjukkan ada yang tidak beres dalam hal pengelolaan, dan lambat laun keluhan yang tidak ditanggapi dan tidak dicarikan solusi perbaikan akan berpeluang memberikan citra buruk untuk perusahaan, yang kelak pasti akan mengurangi nilai jual jasa atau produk dari perusahaan.  Ini menjadi hal yang penting bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa.

Efek terburuk dari ketidakpuasan konsumen adalah reputasi bisnis perusahaan akan memburuk dan ujungnya akan menghilangkan konsumen yang loyal.  Bila ini terjadi perusahaan pasti akan merugi, apalagi untuk kondisi tingkat persaingan yang kian ketat sekarang ini, dimana setiap perusahaan yang berorientasi kepuasan pelanggan selalu mencari cara terbaik memenuhi kepuasan konsumen dengan tidak membahayakan kepentingan jangka panjang bisnis perusahaan.

Karena seorang pemimpin tidak selalu lebih berpengetahuan dan berwawasan lebih baik dari karyawan, pemimpin yang baik harus pula melibatkan karyawan dalam proses pembuatan keputusan, tidak hanya menjadikan karyawan sebagai pihak yang semata-mata melaksanakan keputusan sang pemimpin.  Keputusan yang dikeluarkan setelah terlebih dahulu melalu proses melibatkan karyawan akan dengan suka cita dijalankan karyawan.  Tapi lagi-lagi ini hanya terjadi bila seorang pemimpin menganggab karyawan sebagai mitra kerja.

Lalu barangkali akan ada pemimpin perusahaan yang juga pemilik beranggapan bahwa melibatkan karyawan dalam proses membuat sebuah keputusan akan menjadikan karyawan besar kepala, lalu merasa diri penting dan ujungnya bertingkah yang tidak diinginkan.  Inilah perlunya seni kepemimpinan.  Pemimpin yang baik pastilah memahami benar cara mengelola hubungan dengan karyawan.
Previous
Next Post »

SILAHKAN MEMBERIKAN KOMENTAR MENGGUNAKAN TATA BAHASA YANG BAIK DAN BENAR. KOMENTAR MENGGUNAKAN KATA DENGAN EJAAN YANG TIDAK BAKU AKAN DIHAPUS. TERIMA KASIH ConversionConversion EmoticonEmoticon